Selasa, 7 Disember 2010

maal hijrah

satu muharam detik permulaan
perkiraan tahun islam hijrah
perpindahan nabi dan umat islam
dari kota mekah ke kota madinah


atas keyakinan dan iman yg teguh
kaum muhajirin dan ansar bersatu
rela berkorban harta dan  nyawa
demi menegakkan islam tercinta


hijrah itu pengorbanan
hijrah itu perjuangan
hijrah itu persaudaraan
hijrah membentuk perpaduan..


oleh itu mari semua
kita sambut maal hijrah
tingkatkan semangat
tegakkan syiar ISLAM untuk sepanjang zaman..


setiap kali sambutan maal hijrah pastinya lagu ini yg akan berkumandang di stesen radio mahupun tv..
dan berakhirnya satu tahun yg bagi saya penuh dengan liku2 kehidupan yg penuh pahit...ujian untuk tahun 1431 amat perit sekali untuk dirasai dalam hati mahupun dengan pancaindera..tapi syukur tuhan masih memberikan kelapangan untuk setiap masalah yg bertimpa2..mungkin tuhan ingin kita sebagai manusia tahu bahawa kita ini hanyalah hambaNya yg lemah..kita yg seringkali lalai dengan dunia yg ternyata hanyalah sebuah persinggahan yg tak kekal..kita terlupa kepada kematian yg semakin hari semakin menjenguk datang..sy sendiri terlalu alpa dengan kehidupan dan terlalu alpa dengan masalah yg tuhan berikan sehinggakan satu perasaaan putus asa terbit dalam diri..tapi sebagai manusia biasa, tuhan sentiasa memberikan ruang kepada kita untuk merasai satu perasaan insaf yg semakin pudar dalam diri..satu sokongan yg kuat diperlukan dari rakan2 islam yg mungkin akan membantu bercambahnya satu iman yg semakin pudar layu...iman yg semakin ditakluki oleh dunia..iman yg satu ketika dulu terlalu manis sangat dirasai kini semakin tiada dalam diri dan semakin tersaa kehilangan sebuah iman..semoga kawan2 sekalian membantu memberikan nasihat dan ilmu agama yg mungkin akan membuatkan iman kembali manis untuk dirasai..

salam maal hijrah 1432..semoga tahun baru hijrah ini memberikan sejuta kehidupan yg penuh bermakna..

Ya Allah aQ Jatuh CinTa

DARI MATA TURUN KE HATI.
DARI HATI KEKAL SAMPAI MATI.
CINTA MEMANG KUASA LUAR BIASA.
TAPI SEMUANYA TENTULAH ATAS KEHENDAK-NYA.

 "Sesungguhnya ALLAH swt berfirman pada hari Qiamat kelak,
 "Mana 0rg2 yg saling mencintai kerana KeAgungan-Ku?
 Hari ini Ku-naungi mereka, di mana tidak ada naungan yg Lain selain naungan-Ku."
(SAHIH MUSLIM)

MengeL0la CinTa tanpa diseLubungi D0sa
J0D0h aDaLah perkara GhaiB Tanpa aDa se0rang pun yang tahu BiLa dan dgn SiaPa kita akan BerJ0D0h..
CinTa dan J0D0h juga tDk mengenaL sTatus dan iDenTifikasi fizikaL.

"Jika DaTang meLamar kepaDa kaLian sese0rang yang kaLian ReDha agamanya dan akhlaknya maka NikahkanLah Dia, BiLa kaLian tiDak meLakukannya maka akan ada fiTnah Di muka Bumi dan keR0sakan yang nyaTa."
(HR. TIRMIZI)

"WaniTa DiNikahi KeRaNa saTu Dr Tiga PeRkaRa; DiNikaHi keRana HaRtanya, DiNikaHi keRna KecaNtikannya, DiNikaHi keRna AgaManya. Maka PiLihLah yg memiLiki Agama & AkhLak (muLia) NesCaya seLamaT DiRimu."
(HADIS RIWAYAT AHMAD)

YA TUHAN! KALAU SESE0RANG ITU BUKAN JODOHKU, TOLONG DIJAUHKANNYA DARIKU DAN GANTIKANNYA DENGAN YANG LEBIH BAIK. DAN JIKA DIA MEMANG JODOHKU MAKA SUPAYA DIDEKATKAN DENGAN CARA-MU DAN ATURAN-MU

Isnin, 6 Disember 2010

== Apakah Itu C I N T A ==

Apakah telapak tanganmu berkeringat, jantungmu berdetak cepat, dan suaramu tercekat saat berada di dekatnya?
 Itu bukan Cinta, itu Suka.

Apakah kamu tak bisa melepaskan pandangan atau genggaman dari dirinya?

Itu bukan Cinta, itu Nafsu.

Apakah kamu menginginkan dia saat dia sedang tidak ada?

Itu bukan Cinta, itu Kesepian.

Apakah kamu ada di sana karena itulah yang diinginkannya?

Itu bukan Cinta, itu Kesetiaan.

Apakah kamu menerima pengakuan cintanya karena kamu tak ingin menyakitinya?

Itu bukan Cinta, itu Kasihan.

Apakah kamu ada di sana karena dia memelukmu atau menggenggam tanganmu?

Itu bukan Cinta, itu Ketergantungan.

Apakah kamu ingin memiliknya karena tatapan matanya membuat hatimu berdegup kencang?

Itu bukan Cinta, itu Tergila-gila.

Apakah kamu memaafkan kesalahannya karena kamu peduli padanya?

Itu bukan Cinta, itu Persahabatan.

Apakah kamu mengatakan padanya setiap hari bahwa dialah satu-satunya orang yang kamu pikirkan?

Itu bukan Cinta, itu Dusta.

Apakah kamu ingin memberikan semua benda kesayanganmu untuknya?

Itu bukan Cinta, itu Sikap dermawan.

Apakah kamu tertarik pada orang lain, tapi tetap setia mendampinginya tanpa pernah menyesal?

Barulah itu Cinta.

Apakah kamu menerima segala kesalahan dan kekurangannya karena itulah bagian dari dirinya?

Barulah itu Cinta.

Apakah kamu menangis saat dia sedih meskipun dia kuat?

Barulah itu Cinta.

Apakah kamu memaafkannya dan bersedia tetap bersamanya saat dia menyakiti?

Barulah itu Cinta.

Apakah kamu tetap setia apapun yang terjadi, baik saat gembira maupun sengsara?

Barulah itu Cinta.

Apakah kamu bersedia memberikan hatimu, Episode Kehidupanmu, dan Suka dan Dukamu untuknya?

Ya, itulah Cinta.

Sekarang, tarik perlahan nafas anda. Dan pejamkan mata anda.
Bayangan siapa yg pertama kali muncul? Kemungkinan besar dialah orang yang anda Cintai

***
Dikisahkan sewaktu masih kecil Husain (cucu Rasulullah Saw.) bertanya kepada ayahnya, Sayidina Ali ra: "Apakah engkau mencintai Allah?" Ali ra menjawab, "Ya". Lalu Husain bertanya lagi: "Apakah engkau mencintai kakek dari Ibu?" Ali ra kembali menjawab, "Ya". Husain bertanya lagi: "Apakah engkau mencintai Ibuku?" Lagi-lagi Ali menjawab,"Ya". Husain kecil kembali bertanya: "Apakah engkau mencintaiku?" Ali menjawab, "Ya". Terakhir Si Husain yang masih polos itu bertanya, "Ayahku, bagaimana engkau menyatukan begitu banyak cinta di hatimu?" Kemudian Sayidina Ali menjelaskan: "Anakku, pertanyaanmu hebat! Cintaku pada kakek dari ibumu (Nabi Saw.), ibumu (Fatimah ra) dan kepada kamu sendiri adalah karena cinta kepada Allah". Karena sesungguhnya semua cinta itu adalah cabang-cabang cinta kepada Allah Swt. Setelah mendengar jawaban dari ayahnya itu Husain jadi tersenyum mengerti :)

Tiga Kunci Sukses Beribadah

Tdk adanya kemauan kuat, hanya akan menjadi celah bagi syetan untuk bisa masuk dan mempengaruhi kita


Para ulama bersilang pendapat mengenai nama pohon yang ada di surga ini. Ada yang mengatakan ia merupakan pohon kemuliaan, ada lagi yang mengatakan pohon gandum, ada pula yang mengatakan pohon tin, ada yang mengatakan pohon sunbulah, dan ada yang mengatakannya pohon kurma. Yang jelas ialah suatu pohon di surga. Al-Qur’an dan Sunnah tidak menyebutkan nama jenisnya. Demikianlah yang dikemukakan Ibnu Jarir. Adapun nama pohon Khuldi(keabadian) adalah nama yang diberikan oleh syetan dalam upayanya untuk menggelincirkan Nabi Adam as dan istrinya Hawa.


Sedangkan makna firman Allah: “ Lalu keduanya digelincirkan oleh syetan dari surga,” yakni disebabkan keduanya memakan buah dari pohon itu sehingga keduanya menjadi jauh dan terjerumus ke dalam kesalahan dan kedurhakaan terhadap Allah SWT.

Dari keterangan firman Allah di atas menggambarkan kepada kita, betapa tidak mudah bagi Adam as di dalam menjalankan perintah Allah SWT untuk menjauhi larangan-Nya yakni tidak mendekati pohon itu dan memakan buahnya. Setidaknya itulah yang bisa kita petik dari ‘detik-detik’ menjelang Allah menempatkan Nabiullah Adam As, ke muka bumi. 

***
Dari kasus di atas pula kita dapat memetik pelajaran bahwa, ternyata untuk menjalankan perintah Allah ataupun menjauhi larangan-Nya dalam rangka ibadah(taat) kepada Allah bukan merupakan pekerjaan mudah.

Tiga Syarat

Ada tiga syarat yang harus ditempuh, berkaca dari ayat di atas, untuk meraih sukses beribadah:

Pertama, adanya keinginan yang kuat (azmun adhim)

Adanya dorongan yang kuat dalam diri, akan memiliki pengaruh yang besar bagi suksesnya ibadah kita. Energi ekstra seperti itu diperlukan mengingat setiap kali kita akan mencanangkan kebajikan, maka di depannya pasukan syetan sudah menghadang dan menghalangi. 

Tidak adanya kemauan yang kuat, akan menjadi celah bagi syetan untuk bisa masuk dan mempengaruhi kita agar tidak patuh kepada Allah. Syetan akan mengambil peluang sekecil dan sesempit apapun, terlebih dengan adanya sikap remeh dan kurang semangat dalam menjalankan ibadah, misalnya.

Selanjutnya dari sana syetan mengobrak-abrik keyakinan yang kita miliki. Banyak titik-titik celah yang dinanti oleh syetan untuk menjerumuskan manusia melalui makanan, pakaian, kekayaan, kekuasaan, seks, dan lain-lain kendaraan nafsu. Proses menjauh dari Allah—lewat jalur nafsu ini— biasanya terjadi setahap demi setahap yang terkadang kita tidak sadari. Melalui pintu-pintu nafsu itulah manusia kerap digelincirkan.

Dalam firman-Nya, secara tegas Allah SWT memerintahkan kita untuk menjalankan ajaran Islam secara kaffah dan dilarang mengikuti langkah-langkah syetan (khutuwatis Syaithon). “ Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS.Al-Baqarah: 208)

Disebut langkah-langkah syetan karena syetan dapat menggelincirkan ummat manusia dengan cara yang sungguh-sungguh halus dan bertahap-tahap, hingga di luar kesadaran kita telah terjerat dalam bujuk rayunya. Naudzubillahimin dzalik. 

Kedua, Mutaba’ah kepada Jalan Rasul

Imam Malik pernah berkata, laa yasluhu amru hadihil ummati illa bima sholluha bihi awwaluha” bahwa (urusan) ummat ini tidak akan kebali baik(maju/ jaya), kecuali bila mereka mencontoh apa yang telah dilakukan oleh generasi awal(Rasulullah dan sahabat) dengan berpegang teguh pada Qur’anul Karim. Berpegang pada kalam(ketentuan/rambu-rambu) yang telah ditentukan oleh Allah (al-Qur’an) merupakan kunci kedua sukses ibadah.

Termasuk dalam beribadah, maka kita tidak boleh mereka-reka sendiri. Semua panduan sudah ditentukan oleh Allah lewat jalan Rasul-Nya. Perkara shalat dari takbir hingga salam, termasuk wirid setelah shalat, sudah diajarkan, kita tinggal menjalankannya tanpa menambah atau mengurangi. Demikian dalam hal pembagian harta waris, cara berpakaian, hidup berkeluarga, bertetangga, berdagang, akhlak berkomunikasi, dsb ada garis-garis besar yang telah dijelaskan yang jika dijalankan, insya Allah akan mengantarkan kita kepada jalan keselamatan.

Bukankah dalam syahadat kita menyatakan adanya dua kepatuhan? Yakni taat kepada Allah sebagai Sang Khalik dan patuh kepada titah yang telah ditempuh dan ditetapkan Rasul. Asyhadu alla ilaha illallahu wa asy hadu anna muhammadan rasulullah.

Allah berfirman,” Katakanlah jika kamu(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS.Ali Imran: 31).

Bila semangat patuh ini telah menjadi jalan kaum muslimin, maka akan kita dapati perbedaan yang mencolok. Secara lahiriyah dapat disaksikan dengan jelas antara orang-orang yang telah memilih Islam sebagai jalan hidupnya dengan orang-orang yang mengaku Islam akan tetapi tidak jelas mana tindakan dan perilaku islaminya. 

Ketiga, Ikhlas dan Lillahi Ta’ala

Ikhlas (lillahi ta’ala) menjadi kunci utama bagi ibadah seseorang. Adanya dorongan yang kuat(azmun adhim), disertai dengan mengetahui ilmunya sesuai dengan petunjuk Rasul Saw (mutaba’ah) harus dilanjutkan dengan sifat ikhlas. Dengan ikhlas maka amal yang kita lakukan tidaklah akan sia-sia. Dengan kata lain, ikhlas menjadi kuncinya amal. 

Allah SWT berfirman: “ Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan (memurnikan) ketaatan kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar: 2) Masih dalam surat yang sama Allah menjelaskan: “ Katakanlah,” Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan (memurnikan) ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama.” (QS. Az-Zumar: 11).

Sayangnya, orang kerap mempersepsikan ikhlas dengan sikap lemah atau asal-asalan, tidak teratur. Dan bahkan, tak jarang diperhadapkan dengan sikap profesional: begini-begini yang penting ikhlas, biar sedikit yang penting ikhlas dst. Padahal, semestinya jika untuk dan karena Allah, sudah seharusnya kita melakukan yang terbaik dari apa yang kita miliki. Itu baru ikhlas yang benar. Bukan sebaliknya.

Jika berderma maka berikan yang terbaik yang kita miliki dan kita cintai. Jika beribadah maka dengan menyediaan waktu yang terbaik(cukup-sepenuh hati) dari waktu yang kita punya. Begitulah seterusnya. 

Bukankah yang memiliki kita tidak lain adalah Allah Aza wa Jalla? Bukankah Dia yang memberikan setiap peluang dan juga rezeki yang kita nikmati? Lebih dari itu bukankah dalam setiap waktu shalat kita telah mengungkapkan ikrar kesetiaan kita kepada-Nya bahwa ibadah kita, hidup dan mati kita sepenuhnya kita sandarkan kepada Allah SWT. Dalam hal ini, kita memang kerap lalai. 

Jadi, sudah semestinya orang yang ikhlas adalah orang yang beramal dan bekerja secara maksimal (penuh tanggung jawab) untuk mengharapkan keridhaan dari Allah SWT., bukan yang sebaliknya; asal-asalan dan tidak teratur. Orang yang sempurna keimananya tentu akan melakukan apa saja yang terbaik di mata Allah SWT. Orang yang seperti ini yang akan disempurnakan pahala amalnya oleh Allah sebagaimana firman-Nya: “Adapun orang-orang yang beriman dan berbuat amal sholeh, maka Allah akan Menyempurnakan Pahala mereka dan Menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya…” (QS. Al-Maidah: 173)

Khatimah

Semoga ruhiyah, jismiah dan fikriyah kita dikuatkan oleh Allah SWT, sehingga kita memiliki keinginan yang kuat dalam beribadah, gemar menuntut ilmu agar amal kita sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya serta diberikan keikhlasan dalam menjalankan setiap yang kita lakukan. Amin.

Kekeliruan dalam Menyambut Awal Tahun Baru Hijriyah

Assalamu 'Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Bulan Muharram Termasuk Bulan Haram
Dalam agama ini, bulan Muharram (dikenal oleh orang Jawa dengan bulan Suro), merupakan salah satu di antara empat bulan yangdinamakan bulan haram. Lihatlah firman Allah Ta’ala berikut. ”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)

Ibnu Rajab mengatakan, ”Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal. Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.”[1]

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”[2]

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab. Oleh karena itu bulan Muharram termasuk bulan haram.

Di Balik Bulan Haram
Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna.

Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.

Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.”[3]

Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, ”Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.”

Ibnu ’Abbas mengatakan, ”Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.”[4]

Bulan Muharram adalah Syahrullah (Bulan Allah)
Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[5]

Bulan Muharram betul-betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah, dengan disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Karena disandarkannya bulan ini pada lafazh jalalah Allah, inilah yang menunjukkan keagungan dan keistimewaannya.[6]

Perkataan yang sangat bagus dari As Zamakhsyari, kami nukil dari Faidhul Qodir (2/53), beliau rahimahullah mengatakan, ”Bulan Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan pada lafazh jalalah ’Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut, sebagaimana pula kita menyebut ’Baitullah’ (rumah Allah) atau ’Alullah’ (keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy. Penyandaran yang khusus di sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya, ini menunjukkan adanya keutamaan pada bulan tersebut. Bulan Muharram inilah yang menggunakan nama Islami. Nama bulan ini sebelumnya adalah Shofar Al Awwal. Bulan lainnya masih menggunakan nama Jahiliyah, sedangkan bulan inilah yang memakai nama islami dan disebut Muharram. Bulan ini adalah seutama-utamanya bulan untuk berpuasa penuh setelah bulan Ramadhan. Adapun melakukan puasa tathowwu’ (puasa sunnah) pada sebagian bulan, maka itu masih lebih utama daripada melakukan puasa sunnah pada sebagian hari seperti pada hari Arofah dan 10 Dzulhijah. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rojab. Bulan Muharram memiliki keistimewaan demikian karena bulan ini adalah bulan pertama dalam setahun dan pembuka tahun.”[7]

Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, ”Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?”

Beliau rahimahullah menjawab, ”Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah (yaitu Muharram).[8]

Dengan melihat penjelasan Az Zamakhsyari dan Abul Fadhl Al ’Iroqiy di atas, jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan istimewa.

Menyambut Tahun Baru Hijriyah
Dalam menghadapi tahun baru hijriyah atau bulan Muharram, sebagian kaum muslimin salah dalam menyikapinya. Bila tahun baru Masehi disambut begitu megah dan meriah, maka mengapa kita selaku umat Islam tidak menyambut tahun baru Islam semeriah tahun baru masehi dengan perayaan atau pun amalan?

Satu hal yang mesti diingat bahwa sudah semestinya kita mencukupkan diri dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya. Jika mereka tidak melakukan amalan tertentu dalam menyambut tahun baru Hijriyah, maka sudah seharusnya kita pun mengikuti mereka dalam hal ini. Bukankah para ulama Ahlus Sunnah seringkali menguatarakan sebuah kalimat, “Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita melakukannya.”[9] Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya.[10]

Sejauh yang kami tahu, tidak ada amalan tertentu yang dikhususkan untuk menyambut tahun baru hijriyah. Dan kadang amalan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam menyambut tahun baru Hijriyah adalah amalan yang tidak ada tuntunannya karena sama sekali tidak berdasarkan dalil atau jika ada dalil, dalilnya pun lemah.

Amalan Pertama: Puasa awal dan akhir tahun

Sebagian orang ada yang mengkhsuskan puasa dalam di akhir bulan Dzulhijah dan awal tahun Hijriyah. Inilah puasa yang dikenal dengan puasa awal dan akhir tahun. Dalil yang digunakan adalah berikut ini. “Barang siapa yang berpuasa sehari pada akhir dari bulan Dzuhijjah dan puasa sehari pada awal dari bulan Muharrom, maka ia sungguh-sungguh telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang dengan puasa. Dan Allah ta'ala menjadikan kaffarot/tertutup dosanya selama 50 tahun.”

Lalu bagaimana penilaian ulama pakar hadits mengenai riwayat di atas:

1. Adz Dzahabi dalam Tartib Al Mawdhu’at (181) mengatakan bahwa Al Juwaibari dan gurunya –Wahb bin Wahb- yang meriwayatkan hadits ini termasuk pemalsu hadits.
2. Asy Syaukani dalam Al Fawa-id Al Majmu’ah (96) mengatan bahwa ada dua perowi yang pendusta yang meriwayatkan hadits ini.
3. Ibnul Jauzi dalam Mawdhu’at (2/566) mengatakan bahwa Al Juwaibari dan Wahb yang meriwayatkan hadits ini adalah seorang pendusta dan pemalsu hadits.[12]

Kesimpulannya hadits yang menceritakan keutamaan puasa awal dan akhir tahun adalah hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan dalil dalam amalan. Sehingga tidak perlu mengkhususkan puasa pada awal dan akhir tahun karena haditsnya jelas-jelas lemah.

Amalan Kedua: Memeriahkan Tahun Baru Hijriyah

Merayakan tahun baru hijriyah dengan pesta kembang api, mengkhususkan dzikir jama’i, mengkhususkan shalat tasbih, mengkhususkan pengajian tertentu dalam rangka memperingati tahun baru hijriyah, menyalakan lilin, atau membuat pesta makan, jelas adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya. Karena penyambutan tahun hijriyah semacam ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, para sahabat lainnya, para tabi’in dan para ulama sesudahnya. Yang memeriahkan tahun baru hijriyah sebenarnya hanya ingin menandingi tahun baru masehi yang dirayakan oleh Nashrani. Padahal perbuatan semacam ini jelas-jelas telah menyerupai mereka (orang kafir). Secara gamblang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”[13]

Penutup
Menyambut tahun baru hijriyah bukanlah dengan memperingatinya dan memeriahkannya. Namun yang harus kita ingat adalah dengan bertambahnya waktu, maka semakin dekat pula kematian.

Sungguh hidup di dunia hanyalah sesaat dan semakin bertambahnya waktu kematian pun semakin dekat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku tidaklah mencintai dunia dan tidak pula mengharap-harap darinya. Adapun aku tinggal di dunia tidak lain seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu meninggalkannya.”[14]

Hasan Al Bashri mengatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanya memiliki beberapa hari. Tatkala satu hari hilang, akan hilang pula sebagian darimu.”[15]

Semoga Allah memberi kekuatan di tengah keterasingan. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Sabtu, 4 Disember 2010

Hadis Nabi Muhammad SAW

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Sesiapa yang sering membaca artikel-artikel keagamaan atau mendengar ceramah agama, pastinya menemui banyak nukilan hadis RasuluLLAH SAW. Bagaimanakah sikap anda apabila mendengar atau terbaca ucapan yang dikatakan hadis Nabi SAW? Adakah anda menerimanya bulat-bulat atau anda bersikap berhati-hati dengan membuat rujukan sebelum menerimanya?


Sekiranya anda terus menerimanya, anda berada dalam situasi yang merbahaya. Sikap kedua adalah langkah selamat, bijak dan betul. Tidak kira hadis itu terpacul keluar dari mulut seorang tokoh agama, ustaz atau ustazah yang tersohor, ilmuwan agama yang kerap muncul di televisyen dan sebagainya. Selagi tidak dinyatakan kesahihan hadis itu maka kita hendaklah berhati-hati apabila berinteraksi dengan dakwaan sesuatu hadis.

Kenapa begitu sekali? Kerana sikap berhati-hati ini akan menyelamatkan anda daripada termasuk dalam golongan yang menempah neraka sebagaimana hadis mutawatir yang diriwayatkan oleh lebih daripada 40 orang sahabat r.a. yang bermaksud :

“Sesiapa yang melakukan pendustaan atas namaku dengan sengaja maka siapkanlah tempat duduknya di neraka.”

( Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari , Muslim, Abu Daud, al-Tirmizi, Ibn Majah, al-Darimiy )

Sikap terus menerima, menyampaikan atau bercakap apabila mendengar dakwaan hadis tanpa usul periksa juga termasuk melakukan pendustaan sebagaimana sabda RasuluLLAH SAW :

“Memadailah seseorang itu melakukan pendustaan apabila dia menyampaikan setiap perkara yang didengar olehnya."

( Imam Muslim)

Ancaman RasuluLLAH SAW tentang sesiapa yang mendustakan atas nama baginda SAW akan menempah neraka tidak sepatutnya dipandang remeh oleh setiap orang Islam. Amat mengecewakan apabila individu yang bergelar ustaz atau penceramah agama (Segelintir) begitu mudah menyandarkan sesuatu ucapan kepada Nabi SAW tanpa diyakini kesahihannya. Orang awamlah yang menjadi mangsa kerana menerimanya bulat-bulat tanpa mengenalpasti status hadis tersebut.

Begitulah juga perintah ALLAH SWT dalam al-Quran apabila berdepan dengan perkara yang kita tidak mengetahuinya. Maksud firman ALLAH SWT :

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan mengenainya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan dipertanggungjawabkan."

(Surah al-Isra’, ayat 36)


Di sini dinyatakan secara ringkas beberapa panduan agar kita tidak termasuk dalam golongan yang mendustakan hadis Nabi SAW. Antara sikap yang mesti diambil apabila berdepan atau mendengar ungkapan didakwa hadis ialah :

1. Sekiranya dinyatakan hadis tersebut riwayat Imam al-Bukhari atau Imam Muslim maka boleh menerimanya kerana itu merujuk kitab sahih masing-masing dan ia diyakini sahih sepertimana disepakati oleh ulama hadis. Selain riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim seperti Imam al-Tirmizi, Abu Daud, al-Nasa’i, ibn Majah, Ahmad, Daruqutniy, al-Darimiy dan sebagainya perlu kepada takhrij ulama’-ulama’ hadis tentang kedudukan hadis riwayat mereka sama ada dinilai oleh ulama silam atau ulama kontemporari.

2. Merujuk kepada individu yang berkemahiran dalam bidang hadis atau sesiapa yang mampu untuk mengenalpasti kedudukannya. Ingat! Sila rujuk golongan yang mengambil berat tentang kedudukan hadis. Diingatkan bahawa bukan semua ustaz atau ilmuwan agama mengambil berat atau benar-benar cakna tentang status hadis Nabi SAW. Ini kerana ramai juga golongan beragama yang amat mudah menyandarkan sesuatu ucapan kepada Nabi SAW padahal sebenarnya ia bukanlah hadis sahih bahkan hadis palsu atau da’if.

3. Membuat kajian dan merujuk sendiri sumber hadis tersebut dalam kitab-kitab hadis. Pada masa kini ALLAH SWT telah memudahkan kita dengan adanya kemudahan internet. Kita boleh ‘search’ apa-apa maklumat di enjin pencari yang disediakan. Manfaatkannya sebaik mungkin. Kebanyakan status hadis telah banyak dibincangkan di laman-laman web agama berbahasa melayu. Bagi yang memahami Bahasa Arab lebih luas peluang untuk menemui perbincangan di laman-laman web Bahasa Arab.

4. Sekiranya tidak dijumpai dan gagal dipastikan status sesuatu hadis, maka tangguhkan dulu penerimaannya dan jangan disebarkan. Diam itu lebih baik dan lebih selamat. Sabda RasuluLLAH saw :

“Sesiapa yang beriman kepada ALLAH dan hari akhirat maka hendaklah dia berkata yang baik atau diam.”

( Imam al-Bukhari)

5. Setelah dikenalpasti dan yakin hadis itu sahih atau hasan maka bolehlah disandarkan kepada Nabi SAW. Berusahalah untuk beramal dengannya serta menyebarkannya kepada orang lain. Kita hendaklah menerima hadis sahih seadanya. Sikap menolak hadis sahih sama seperti kita menerima hadis palsu. Kedua-duanya termasuk dalam mendustakan RasuluLLAH SAW.

6. Sekiranya dikenalpasti sesuatu hadis itu da’if dan tidak diyakini kesahihannya maka tidak boleh disandarkan kepada Baginda SAW secara putus. Cuba elakkan menyebarkannya kerana dibimbangi akan dianggap sahih oleh orang ramai kecuali dinyatakan status keda’ifannya secara jelas.

Ibn Hajar al-Asqalaniy telah menulis di dalam karyanya Tabyin al-‘Ajb, “Tidak menyebarkannya ( hadis da’if ) kepada orang ramai sehingga orang jahil menyangka ia amalan dari hadis yang sahih”.

Pesanan ulama hadis tersohor ini sebagai langkah berjaga-jaga, selamat dan tidak berisiko daripada berlakunya salah faham terhadap hadis Nabi SAW.

7. Sekiranya dikenalpasti sesuatu hadis itu maudhu’ atau palsu maka haram kita menerimanya, beramal dengannya atau menyebarkannya. Tidak boleh sama sekali kita menyandarkannya kepada Nabi Muhammad SAW kerana ia bukan sabdaan, amalan dan pengakuan baginda SAW. Kesan beramal dengan hadis palsu amat buruk kerana boleh merosakkan akidah, menyebabkan berlaku perpecahan, tersebarnya bid’ah, khurafat dan menimbulkan salah faham serta prejudis terhadap kesucian Islam.

8. Beramal dengan hadis yang sahih dan abaikan riwayat yang da’if dan palsu. Hadis-hadis sahih yang menggalakkan kita beramal soleh dan beribadat kepada ALLAH amat banyak sehingga tidak larat untuk dilaksanakan. Kenapa kita masih perlukan amalan yang tidak pasti dan samar dilakukan oleh RasuluLLAH SAW?

Sabda RasuluLLAH SAW :

“Tinggalkan apa yang meragukan kamu kepada yang tidak meragukan kamu.”

( hasan sahih ;riwayat Imam al-Tirmizi dan al-Nasa’i )

Semoga beberapa panduan ini dapat membantu peminat-peminat ilmu agama agar terselamat daripada melakukan pendustaan atas nama RasuluLLAH SAW seterusnya dapat membendung dari tersebarnya hadis-hadis palsu dalam masyarakat kita.


WALLAHU A'lam.





MAUT

Dalam persoalan maut, para ulama bersetuju bahawa manusia boleh dibahagikan kepada 4 golongan:

Golongan Pertama
Mereka yang tenggelam dalam kecintaan dunia tidak akan memikirkan soal maut sebab maut ini akan menyebabkan mereka terpisah dari kelazatan dunia mereka. Mereka memikirkan tentang maut dengan keadaan marah dan dengan penuh kebencian. Mereka amat takut akan maut sebab bila maut datang kepada mereka, mereka terpaksa meninggalkan segala harta kesayangan mereka.

Golongan Kedua
Mereka berhajat kepada Allah SWT. Mereka boleh dikatakan sebagai di peringkat permulaan. Mereka akan berasa takut bila diperdengarkan tentang kehebatan Allah dan mereka bersungguh-sungguh mahu bertaubat. Tetapi, mereka juga boleh dikatakan takut akan mati. Mereka takut mati bukan kerana cintakan dunia, tetapi mereka rasa mereka belum benar-benar bertaubat. Jadi, mereka akan mengislahkan diri terlebih dahulu dan mereka belum bersedia untuk mati dan tidak suka untuk mati cepat.
.
Golongan ini tidak boleh dikatakan sebagai golongan yang tidak suka bertemu Allah SWT berdasarkan hadis Rasulullah SAW yang bermaksud: “Sesiapa yang tidak suka menemui Allah, maka Allah juga tidak suka menemuinya.” Kerana mereka bukan benci untuk berjumpa Allah, sebaliknya mereka takut akan kekurangan dan kecacatan amal yang ada pada mereka. Mereka boleh diumpamakan sebagai seseorang yang ingin bertemu dengan sahabatnya. Maka, dia membuat persediaan untuk bertemu dengan sahabatnya supaya sahabatnya itu akan gembira, tetapi dia belum bersedia untuk berjumpa lagi dengan sahabatnya itu disebabkan dia masih sibuk dalam bersiap-sedia. Jadi, orang ini boleh dikatakan sibuk dalam persediaan untuk kehidupan Akhirat. Jika orang ini menyibukkan diri dalam kehidupan dunia, maka dia boleh dikategorikan dalam golongan pertama tadi.

Golongan Ketiga
Mereka ini disebutkan sebagai golongan Arif. Mereka mengenal Allah SWT lebih daripada mereka mengenal yang selainNya. Taubat mereka adalah sempurna. Mereka cintakan maut dan merindukan kedatangannya. Bagi seorang kekasih, masa perjumpaan dengan kekasihnya adalah saat sangat penting daripada segala-galanya. Demikian, masa perjumpaan bagi mereka adalah bila datangnya maut dan mereka sentiasa menanti-nantikan kedatangannya dan mereka tidak sekali-kali leka daripada tugas ini. Orang beginilah dikatakan sebagai mereka yang mencintai mati dan berharap supaya maut ini boleh datang dengan begitu cepat sekali. Mereka sentiasa merindukan kemerdekaan dari dunia yang penuh dengan dosa ini.
.
Satu riwayat menyatakan bahawa Saidina Huzaifah r.a. sewaktu hampir meninggal dunia berkata: “Akhirnya kekasihku (maut) yang aku nanti-nantikan itu sudah tiba pada waktu yang tepat. Sesiapa yang menyesali akan kedatangannya, dia tidak akan berjaya. Ya Allah! Engkau Yang Maha Mengetahui akan daku, aku lebih suka hidup miskin daripada hidup mewah. Aku lebih suka sakit daripada sihat dan aku lebih suka maut daripada hidup. Cepatkanlah maut bagiku supaya aku dapat bertemu denganMu.”

Golongan Keempat
Mereka ini adalah satu golongan yang mempunyai darjat yang lebih tinggi daripada ketiga-tiga golongan di atas. Mereka mengutamakan keredhaan Allah SWT daripada segala-galanya dan ia menjadi matlamat dan tujuan hidup mereka. Mereka tidak mempunyai apa-apa kepentingan diri untuk hidup ataupun mati. Mereka menjadi kekasih Allah dan tandanya, mereka ada sifat Redha (penerimaan tanpa persoalan) dan sifat Tasleem (penyerahan diri yang sempurna).

Wallahua'lam.

3 PERKARA YANG ELOK DISEBUT2

Perbanyakkan menyebut Allah daripada menyebut makhluk
Sudah menjadi kebiasaan bagi kita menyebut atau memuji-muji orang yang berbuat baik kepada kita sehingga kadang-kadang kita terlupa hakikat bahawa terlampau banyak nikmat yang telah Allah SWT berikan kepada kita. Lantaran itu, kita terlupa memuji dan menyebut-nyebut nama Allah. Makhluk yang hanya berbuat baik sedikit sahaja kepada kita, kita puji habis-habisan tetapi nikmat yang terlalu banyak Allah SWT berikan kita langsung tidak hargai. Sebaik-baiknya elok kita basahi lidah kita dengan memuji Allah sentiasa, bukan sekadar ucapan Alhamdulillah apabila perut sudah kekenyangan. Pujian sebegini hanya di lidah sahaja, tidak sampai hingga ke hati.

Perbanyakkan menyebut akhirat daripada menyebut urusan dunia
Dunia terlalu sedikit dibandingkan dengan akhirat. 1000 tahun di dunia setimpal dengan ukuran masa sehari di akhirat. Betapa kecilnya nisbah umur di dunia ini berbanding akhirat. Nikmat dunia juga 1/100 daripada nikmat akhirat. Begitu juga seksa dan kepayahan hidup di dunia hanya 1/100 daripada akhirat. Hanya orang yang singkat akalnya hanya sibuk memikirkan Wawasan Dunia (WD) hingga terlupa Wawasan Akhirat (WA). Manusia yang paling bijak ialah mereka yang sibuk merancang Wawasan Akhiratnya. Saham Amanah Dunia (SAD) tak penting, tapi yang paling penting ialah Saham Amanah Akhirat (SAA) yang tak pernah rugi dan merudum malahan sentiasa naik berlipat kali ganda. Oleh itu perbanyakkanlah menyebut-nyebut perihal akhirat supaya timbul keghairahan menanam dan melabur saham akhirat.

Perbanyakkan menyebut hal-hal kematian daripada hal-hal kehidupan
Kita sering memikirkan bekalan hidup ketika tua tetapi jarang memikirkan bekalan hidup semasa mati. Memikirkan mati adalah sunat kerana dengan berbuat demikian kita akan menginsafi diri dan kekurangan amalan yang perlu dibawa ke sana. Perjalanan yang jauh ke akhirat sudah tentu memerlukan bekalan yang amat banyak. Bekalan itu hendaklah dikumpulkan semasa hidup di dunia ini. Dunia ibarat kebun akhirat. Jikalau tidak usahakan kebun dunia ini, masakan dapat mengutip hasilnya di akhirat? Dalam hubungan ini eloklah mencontohi sikap Saidina Ali k.w.s.j. Meskipun sudah terjamin akan syurga, beliau masih mengeluh dengan hebat sekali tentang kurangnya amalan untuk dibawa ke akhirat yang jauh perjalanannya. Bandingkan pula dengan diri kita yang kerdil dan sentiasa bergelumang dengan dosa?


2 PERKARA JANGAN DISEBUT2

Jangan menyebut-nyebut kebaikan diri dan keluarga
Syaitan memang sentiasa hendak memerangkap diri kita dengan membisikkan kepada kita supaya sentiasa mengingat atau menyebut-nyebut tentang kebaikan yang kita lakukan sama ada kepada diri sendiri, keluarga atau masyarakat amnya. Satu kebaikan yang kita buat, kita sebut-sebut seperti rasmi ayam 'bertelur sebiji, riuh sekampung'. Kita terlupa bahawa dengan menyebut dan mengingat kebaikan kita itu sudah menimbulkan satu penyakit hati iaitu ujub. Penyakit ujub ini ibarat api dalam sekam yang boleh merosakkan pahala kebajikan yang kita buat. Lebih dahsyat lagi jika ianya menimbulkan ria' atau bangga diri yang mana Allah SWT telah memberi amaran sesiapa yang memakai sifatNya (ria') tidak akan mencium bau syurga. Ria' adalah satu unsur dari syirik (khafi). Oleh itu eloklah kita berhati-hati supaya menghindarkan diri daripada mengingat kebaikan diri kita kepada orang lain. Kita perlu sedar bahawa perbuatan baik yang ada pada diri kita itu sebenarnya datangnya dari Allah SWT kerana Allah yang membolehkan kita berbuat baik. Jadi kita patut bersyukur kepada Allah SWT kerana menjadikan kita orang baik, bukannya mendabik dada mengatakan kita orang baik. Kita terlupa kepada Allah yang mengurniakan kebaikan itu.

Jangan menyebut-nyebut keaiban atau keburukan diri orang lain
Kegelapan hati ditokok dengan rangsangan syaitan selalu menyebabkan diri kita menyebut-nyebut kesalahan dan kekurangan orang lain. Kita terdorong melihat keaiban orang sehingga terlupa melihat keaiban dan kekurangan diri kita sendiri. Bak kata orang tua-tua 'kuman seberang lautan nampak, tapi gajah di depan mata tak kelihatan'. Islam menuntut kita melihat kekurangan diri supaya dengan cara itu kita dapat memperbaiki kekurangan diri kita. Menuding jari mengatakan orang lain tak betul sebenarnya memberikan isyarat bahawa diri kita sendiri tidak betul. Ibarat menunjuk jari telunjuk kepada orang; satu jari arah ke orang itu tapi 4 lagi jari menuding ke arah diri kita. Bermakna bukan orang itu yang buruk, malahan diri kita lebih buruk daripadanya. Oleh sebab itu, biasakan diri kita melihat keburukan diri kita bukannya keburukan orang lain. Jangan menjaga tepi kain orang sedangkan tepi kain kita koyak rabak. Di dalam Islam ada digariskan sikap positif yang perlu dihayati dalam hubungan sesama manusia iaitu lihatlah satu kebaikan yang ada pada diri seseorang, meskipun ada banyak kejahatan yang ada pada dirinya. Apabila melihat diri kita pula, lihatkan kejahatan yang ada pada diri kita walaupun kita pernah berbuat baik. Hanya dengan cara ini kita terselamat dari bisikan syaitan yang memang sentiasa mengatur perangkap untuk menjadikan kita temannya di dalam neraka.

Semoga 5 perkara yang disebutkan di atas dapat kita hayati dan diterapkan dalam kehidupan kita seharian. Sama-sama berdoa agar terselamat dari kemurkaan Allah SWT di dunia hingga ke akhirat. Amein...
.

NAFSU YANG PALING HINA

SETIAP orang mempunyai nafsu. Ia adalah kurniaan Allah yang bersifat fitrah sebagai pelengkap kepada unsur kemanusiaan di samping akal. Dengan nafsu kita dapat makan dan minum, melakukan itu dan ini memakmurkan bumi, malah beranak pinak. Sebab itu, jika manusia tiada nafsu untuk makan, ini menunjukkan petanda buruk.

Cuma yang berbeza ialah tingkatan nafsu pada diri seseorang. Sesetengah dapat mengawal nafsu, manakala yang lain terikut-ikut telunjuk hawa nafsu, malah kerap terbabas kerana gagal mengawal nafsu. Dalam Islam, nafsu terbahagi kepada beberapa tahap, iaitu nafsu ammarah, nafsu lawwamah, nafsu mulhimah, nafsu muthmainnah, radiah dan mardhiah.

Nafsu ammarah - Nama ini diambil daripada ayat al-Quran yang menceritakan mengenai pengakuan Zulaikha (Imratulaziz) atas kesalahan dan kesediaannya membuat pengakuan yang Yusuf bersih daripada sebarang keburukan dan kesalahan. Ia adalah nama bagi nafsu di tahap paling rendah. Diri di tahap ini disifatkan al-Quran sebagai yang menyuruh kepada keburukan dan kejahatan. Jika melakukan kebaikan sekalipun hanya sebagai topeng untuk kejahatan. Maksudnya diri manusia dikuasai sepenuhnya oleh unsur kejahatan sehingga manusia menjadi hamba nafsu, bahkan menjadikan nafsu sebagai Tuhan yang ditaati.

Manusia yang memiliki akhlak serendah ini nilai baik dan buruk tidak bermakna dan tidak penting. Cuma yang penting baginya ialah yang dapat memenuhi kehendak nafsunya saja. Manusia yang sedemikian akan mendabik dada, kerana berbangga dengan kejahatan yang dilakukan. Diri dalam peringkat terendah inilah yang diistilahkan oleh ahli kerohanian Islam sebagai 'nafsu'.

Nafsu ammarah ini mengandungi sifat hina dan tercela, sifat kehaiwanan, syaitan dan bangga diri yang hanya layak bagi Tuhan, seperti sifat takbur, memperhambakan manusia, suka disanjung dan dipuja. Sifat yang nyata pada diri di tahap ini ialah sentiasa bergelora dengan seribu satu macam keinginan nafsu, sesuai dengan sifat semula jadi nafsu rendahnya seperti terburu nafsu, lalai, tamak dan jahil. Malah untuk menunaikan keinginan yang sentiasa bergelora tanpa puas manusia akan menjadi alat dan hamba nafsu menyebabkan mereka dalam sentiasa dalam keadaan sengsara.

Al-Quran mengumpamakan seperti seekor anjing yang termengah-mengah dan terjelir lidahnya kerana kepenatan. "Dan kalau Kami kehendaki nescaya Kami tinggikan pangkatnya dengan ayat-ayat itu. Tetapi ia cenderung kepada dunia dan menurut hawa nafsunya; maka bandingannya adalah seperti anjing; jika engkau menghalaunya, ia menghulurkan lidahnya termengah-mengah. Dan jika engkau membiarkannya ia juga menghulurkan lidahnya termengah-mengah. Demikianlah bandingan orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu supaya mereka berfikir." (Al-A'raaf: 176)

Diri yang berada pada tahap ini sebenarnya menerima ujian. Diuji dengan sifat rendah dan buruk. Tetapi manusia juga disediakan daya kemampuan untuk menentang, melawan, mengekang dan mengawal daripada menurut nafsu rendahnya itu. Manusia diuji dengan sifat terbabit bukanlah diminta supaya menuruti keinginan nafsu yang tidak ada batas kepuasannya tetapi untuk menghalang, mendidik dan memandunya sehingga mengenali diri, tabiat dan kelemahannya.

Dengan itu akhirnya diri mengenali Tuhan dan mentaati petunjuk-Nya dalam usaha mengatasi kelemahan supaya mereka benar-benar menjadi hamba dan mengabdikan kepada Allah saja.Hanya dengan usaha terbabit nafsu di tahap ini akan dapat meningkat maju ke peringkat yang lebih tenang.

ASHABUL KAHFI

Dalam surah al-Kahfi, Allah SWT menceritakan tiga kisah masa lalu, yaitu kisah Ashabul Kahfi, kisah pertemuan Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS serta kisah Dzulqarnain. Kisah Ashabul Kahfi mendapat perhatian lebih dengan digunakan sebagai nama surat dimana terdapat tiga kisah tersebut. Hal ini tentu bukan kebetulan semata, tapi kerana kisah Ashabul Kahfi, seperti juga kisah dalam al-Quran lainnya, bukan merupakan kisah semata-mata, tetapi juga terdapat banyak pelajaran (ibrah) didalamnya. Berikut adalah kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua) yang ditafsir secara jelas jalan ceritanya:
.
Penulis kitab Fadha'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah (jilid II, halaman 291-300), mengetengahkan suatu riwayat yang dikutip dari kitab Qishashul Anbiya. Riwayat tersebut berkaitan dengan tafsir ayat 10 Surah Al-Kahfi: "(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdo'a: "Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)" (QS al-Kahfi:10) Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:
.
Di kala Saidina Umar Al-Khattab r.a. memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah: "Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, bererti bahawa agama Islam itu batil dan Muhammad bukan seorang Nabi."
.
"Silakan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan," sahut Khalifah Umar. "Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?" Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya. "Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?"
.
Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berfikir sejenak, kemudian berkata: "Bagi Umar, jika ia menjawab 'tidak tahu' atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!'' Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata: "Sekarang kami bersaksi bahawa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah batil!"
.
Salman Al-Farisi yang ketika itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: "Kalian tunggu sebentar!" Ia segera pergi ke rumah Saidina Ali bin Abi Talib k.w.j. Setelah bertemu beliau, Salman berkata: "Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!" Saidina Ali k.w.j. bingung, lalu bertanya: "Mengapa?" Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab.
.
Saidina Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasulullah SAW. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Talib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkata: "Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!"
.
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Talib berkata: "Silakan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasulullah SAW sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!"
.
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Talib berkata: "Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!" "Ya baik!" jawab mereka.
.
"Sekarang tanyakanlah satu demi satu," kata Ali bin Abi Talib. Mereka mulai bertanya: "Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?" Jawab Ali bin Abi Talib: "Induk kunci itu ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pemuda mahupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke hadirat Allah!"
.
Para pendeta Yahudi bertanya lagi: "Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?" Ali bin Abi Talib menjawab: "Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahawa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!"
.
Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata: "Orang itu benar juga!" Mereka bertanya lebih lanjut: "Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!" Jawab Ali: "Kuburan itu ialah ikan yu yang menelan Nabi Yunus putera Matta. Nabi Yunus AS dibawa keliling ke tujuh samudera!"
.
Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi: "Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!" Ali bin Abi Talib menjawab: "Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud alaihimas salam. Semut itu berkata kepada kaumnya: "Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sedar!"
.
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya: "Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun di antara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!" Ali bin Abi Thalib menjawab: "Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Saleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular)."
.
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan: "Kami bersaksi bahawa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!"
.
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Talib: "Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda." "Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan," sahut Saidina Ali.
.
"Cuba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?" Tanya pendeta tadi. Ali bin Abi Talib menjawab: "Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah SWT kepada RasulNya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu."
.
Pendeta Yahudi itu menyahut: "Aku sudah banyak mendengar tentang Quran kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, cuba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!"
.
Ali bin Abi Talib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut ke depan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata: "Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasul Allah SAW kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahawa kisah itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki). Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana."
.
Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya: "Jika engkau benar-benar tahu, cuba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!" Saidina Ali bin Abi Talib menerangkan: "Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmar. Panjangnya satu farsakh (= kl 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Tiang-tiangnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi. Raja itu pun membuat sebuah singgahsana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgahsana dengan mengenakan mahkota di atas kepala."
.
Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata: "Jika engkau benar-benar tahu, cuba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?" "Hai saudara Yahudi," kata Imam Ali menerangkan, "Mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam. Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Seluar mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri."
.
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata: "Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, cuba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!" Imam Ali r.a. menjawab: "Kekasihku Muhammad Rasul Allah SAW menceritakan kepadaku, bahawa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala urusan.
.
Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para penggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.
.
Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung di dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.
.
Demikianlah raja itu berada di atas singgahsana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan sihat, ia mulai bongkak, durhaka dan zalim. Ia mengaku dirinya sebagai "tuhan" dan tidak mahu lagi mengakui adanya Allah SWT.
.
Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mahu taat atau tidak bersedia mengikuti kemahuannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa mengiyakan kemahuannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah SWT.
.
Pada suatu hari perayaan ulang tahunnya, raja sedang duduk di atas singgahsana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahawa ada balatentara asing masuk menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disedari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgahsana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan --seorang cerdas yang bernama Tamlikha-- memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati: "Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan."
.
Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya: "Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mahu makan dan tidak mahu minum?"
.
"Teman-teman," sahut Tamlikha, "hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur." Teman-temannya bertanya: "Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?" "Sudah lama aku memikirkan soal langit," ujar Tamlikha menjelaskan. "Aku lalu bertanya pada diriku sendiri: "Siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang sentiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah? Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?' Kemudian ku fikirkan juga bumi ini: "Siapakah yang membentang dan menghamparkannya di cakrawala? Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak senget?" Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri: "Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius…"
.
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha dicium sambil berkata: "Hai Tamlikha, dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh kerana itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!" "Saudara-saudara," jawab Tamlikha, "baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang zalim itu, pergi kepada Raja pencipta langit dan bumi!" "Kami setuju dengan pendapatmu," sahut teman-temannya.
.
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat wang sebanyak 3 dirham. Wang itu kemudian diselitkan dalam baju. Lalu berangkat berkenderaan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya. Setelah berjalan 3 batu jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya: "Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan keluar."
.
Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah kerana tidak biasa berjalan kaki sejauh itu. Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya: "Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?" "Aku mempunyai semua yang kalian inginkan," sahut penggembala itu. "Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Cuba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!"
.
"Ah…, susahnya orang ini," jawab mereka. "Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?" "Ya," jawab penggembala itu. Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil mencium kaki mereka, ia berkata: "Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi kepada kalian." Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya."
.
Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata: "Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, cuba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?" "Hai saudara Yahudi," kata Ali bin Abi Talib, "Kekasihku Muhammad Rasul Allah SAW. menceritakan kepadaku, bahawa anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qitmir. Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya: "Kita khuatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahsia kita!" Mereka meminta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.
.
Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali: "Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah SWT." Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua.
.
Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata: "Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?!" Imam Ali menjelaskan: "Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram!"
.
Ali bin Abi Talib meneruskan ceritanya: "Secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua. Kemudian Allah SWT memerintahkan Malaikat Maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah SWT mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri."
.
Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawapan bahawa mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80,000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahawa enam orang itu benar-benar sedang tidur.
.
Kepada para pengikutnya ia berkata: "Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!" Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan seperti simen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya: "Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat itu." Dalam gua tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.
.
Setelah masa yang amat panjang itu lampau, Allah SWT mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya: "Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!"
.
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah SWT membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya: "Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa wang untuk mendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi."
.
Tamlikha kemudian berkata: "Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!" Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan: "Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah."
.
Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri: "Kusangka aku ini masih tidur!" Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil. Ia berjalan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja roti: "Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?" "Aphesus," sahut penjual roti itu. "Siapakah nama raja kalian?" tanya Tamlikha lagi. "Abdurrahman," jawab penjual roti. "Kalau yang kau katakan itu benar," kata Tamlikha, "Urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah wang ini dan berilah makanan kepadaku!" Melihat wang itu, penjual roti keheranan. Kerana wang yang dibawa Tamlikha itu wang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.
.
Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Talib: "Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, cuba terangkan kepadaku berapa nilai wang lama itu dibanding dengan wang baru!" Saidina Ali menerangkan: "Kekasihku Muhammad Rasul Allah SAW menceritakan kepadaku, bahawa wang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan wang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!"
.
Saidina Ali kemudian melanjutkan ceritanya: Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha: "Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan harta karun! Berikan semua itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja!" "Aku tidak menemukan harta karun," sangkal Tamlikha. "Wang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota kerana orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!"
.
Penjual roti itu marah. Lalu berkata: "Apakah setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa wangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?"
.
Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berfikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha: "Bagaimana cerita tentang orang ini?" "Dia menemukan harta karun," jawab orang-orang yang membawanya. Kepada Tamlikha, raja berkata: "Engkau tak perlu takut! Nabi Isa AS memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat." Tamlikha menjawab: "Tuanku, aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!" Raja bertanya sambil keheranan: "Engkau penduduk kota ini?" "Ya. Benar," sahut Tamlikha. "Adakah orang yang kau kenal?" tanya raja lagi. "Ya, ada," jawab Tamlikha. "Cuba sebutkan siapa namanya," perintah raja.
.
Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1,000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata: "Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?" "Ya, tuanku," jawab Tamlikha. "Utuslah seorang menyertai aku!" Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengiringnya: "Inilah rumahku!"
.
Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata kerana sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang: "Kalian ada perlu apa?" Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut: "Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!" Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati, ia bertanya: "Siapa namamu?" "Aku Tamlikha anak Filistin!" Orang tua itu lalu berkata: "Cuba ulangi lagi!"
.
Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap: "Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang di antara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka." Kemudian diteruskannya dengan suara terharu: "Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa AS, dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahawa mereka itu akan hidup kembali!"
.
Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian dilaporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera berangkat menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai mencium tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya: "Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?" Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahawa semua temannya masih berada di dalam gua. "Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua," demikian Saidina Ali melanjutkan ceritanya.
.
Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka: "Aku khuatir kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau bunyi senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh kerana itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!"
.
Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata: "Puji dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!" Tamlikha bertanya: "Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?" "Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja," jawab mereka. "Tidak!" sangkal Tamlikha. "Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!"
.
Teman-teman Tamlikha menyahut: "Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh dunia?" "Lantas apa yang kalian inginkan?" Tamlikha kembali bertanya. "Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga," jawab mereka. Lalu mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa: "Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa pengetahuan orang lain!"
.
Allah SWT mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat Maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah SWT melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua. Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah SWT. Dua orang bangsawan itu memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka.
.
Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata: "Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu." Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula: "Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu."
.
Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka Allah berfirman: "Dan begitulah Kami menyerempakkan mereka, supaya mereka mengetahui bahawa janji Allah adalah benar, dan bahawa saat itu tidak ada keraguan padanya. Apabila mereka berbalahan antara mereka dalam urusan mereka, maka mereka berkata, "Binalah di atas mereka satu bangunan; Pemelihara mereka sangat mengetahui mengenai mereka." Berkata orang-orang yang menguasai atas urusan mereka, "Kami akan membina di atas mereka sebuah masjid."
.
Sampai di situ Saidina Ali bin Abi Talib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu: "Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian?"
.
Pendeta Yahudi itu menjawab: "Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahawa tiada tuhan selain Allah dan bahawa Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahawa engkau orang yang paling berilmu di kalangan umat ini!"
Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua (Ashabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha 'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang diperoleh Saidina Ali bin Abi Talib k.w.j. dari Rasulullah SAW.
.
Wallahua'lam.